Beranda | Artikel
Sikap Tengah Ahlus Sunnah Diantara Firqah Sesat
Kamis, 10 Maret 2022

SIKAP TENGAH AHLUS SUNNAH DIANTARA FIRQAH-FIRQAH SESAT

Pada edisi lalu telah kami sampaikan keistimewaan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berada di pertengahan di antara aqidah-aqidah golongan sesat yang menisbatkan diri kepada agama Islam. Kami sudah menyampaikan dua contoh, yaitu pertengahan dalam bab ibadah dan bab Nama dan Sifat Allâh Azza wa Jalla . Berikut ini adalah contoh-contoh lain yang akan menunjukkan keistimewaan tersebut. Semoga bermanfaat.

1. Dalam Bab Qadha’ dan Qadar
Dalam bab ini, Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah berada di pertengahan antara golongan Qadariyyah dengan Jabariyyah.

Golongan Qadariyyah menolak qadar (takdir), mereka berkata, “Semua perbuatan hamba, ketaatan dan kemaksiatan mereka, tidak di bawah qadha’ dan qadar Allâh Azza wa Jalla .” Menurut mereka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan perbuatan hamba dan tidak menghendakinya. Artinya, seorang hamba itu bebas dan  berdiri sendiri dengan perbuatannya. Menurut mereka, hambalah yang menciptakan perbuatannya sendiri, dia yang menghendakinya, dan kehendaknya bebas, tidak terikat dengan kehendak Allah.

Dengan keyakinan ini, mereka telah menetapkan ada pencipta lain selain Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah sebentuk kemusyrikan dalam rubûbiyah (kekuasaan) Allâh Azza wa Jalla . Mereka menyerupai orang Majusi yang mengatakan bahwa alam ini memiliki dua pencipta. Sehingga mereka ini digelari ‘Majusinya  umat Islam’.

Sedangkan golongan Jabariyyah, mereka bersikap ghuluw dalam menetapkan qadar. Mereka berkata, “Para hamba itu dipaksa melakukan perbuatannya, seperti bulu yang diterbangkan angin di udara. Para hamba tidak memiliki perbuatan, tidak memiliki kemampuan, dan tidak memiliki kehendak”.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk, yang berupa perkataan yang benar dan pertengahan, kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menetapkan bahwa hamba adalah pelaku yang sebenarnya. Perbuatan mereka dinisbatkan kepada mereka berdasarkan kenyataan, dan perbuatan seorang hamba terjadi dengan sebab takdir, kehendak, dan ciptaan Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla adalah Pencipta hamba dan Pencipta perbuatannya, sebagaimana firman-Nya:

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Padahal Allâh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [Ash-Shâffât/37: 96]

Seorang hamba memiliki kehendak, namun kehendak itu mengikuti kehendak Allâh Azza wa Jalla, Sebagaimana firman-Nya:

وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allâh, Rabb semesta alam. [At-Takwîr/81: 29]

Bersamaan dengan itu, Allâh memerintahkan para hamba untuk mentaati-Nya dan mentaati para Rasul-Nya, serta melarang mereka melakukan perbuatan maksiat kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bertakwa, dan tidak ridha kepada orang-orang fasiq. Allâh Azza wa Jalla telah menegakkan hujjah kepada hamba dengan mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab. Barangsiapa taat, berarti dia telah melakukan ketaatan dengan kejelasan dan pilihan, sehingga dia berhak mendapatkan balasan yang baik. Dan barangsiapa bermaksiat, maka dia bermaksiat dengan kejelasan dan pilihan, sehingga dia berhak mendapatkan hukuman.

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ

Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. [Fushshilat/41: 46]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah beriman kepada empat martabat qadha’ dan qadar yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu:

  1. Ilmu Allâh yang meliputi segala sesuatu. Allâh Azza wa Jalla maha mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang akan dilakukan makhluk sebelum Allâh Azza wa Jalla menciptakan mereka.
  2. Allâh Azza wa Jalla telah menulis semua yang akan terjadi di lauhul mahfûzh, 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.
  3. Kehendak Allâh yang pasti terjadi dan kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu. Apa yang Allâh kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Dan semua yang terjadi di dunia ini telah dikehendaki olah Allâh Azza wa Jalla sebelum kejadiannya.
  4. Bahwa Allâh adalah Pencipta segala sesuatu. Dia Pencipta semua hamba yang berbuat dan perbuatannya, semua hamba yang bergerak dan gerakkannya, semua hamba yang diam dan keadaan diamnya.

2. Dalam Bab : Janji dan Ancaman
Dalam bab ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berada ditengah antara golongan Wa’idiyyah dengan Murji’ah.

Golongan Wa’idiyyah memenangkan dan lebih mengedepankan nash-nash wa’îd (ancaman) daripada nash-nash wa’ad (janji). Di antara mereka adalah golongan Khawarij yang berpendapat bahwa kaum Muslimin yang melakukan dosa besar, seperti zina dan minum khamer telah kafir, kekal dalam neraka.

Sedangkan golongan Murji’ah memenangkan dan lebih mengedepankan nash-nash yang berisi raja’ (harapan) daripada nash-nash wa’îd (ancaman), sehingga mereka berpendapat bahwa iman adalah kepercayaan hati, dan amal tidak termasuk bagian dari iman. Berdasarkan ini, mereka memandang bahwa kemaksiatan tidak akan membahayakan pelakunya selama masih ada keimanan. Sehingga pelaku maksiat, seperti pezina dan peminum khamer, tidak berhak masuk ke dalam neraka. Dan iman pelaku maksiat itu sama dengan iman Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu.

Serupa dengan akidah atau keyakinan ini, prilaku sebagian orang yang menyatakan dirinya islam namun gemar melakukan perbuatan maksiat dan sering meninggalkan ketaatan, lalu dia beralasan dengan hadits-hadits wa’ad (janji kebaikan), seperti hadits:

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa mengucapkan lâ ilâha illa Allâh, lalu dia mati, dia pasti masuk surga. [HR. Ahmad, 5/391]

Jika ada orang seperti ini, bagaimana menyanggah dan menjawabnya? Berikut jawabannya:

  1. Jika iman itu benar-benar ada di dalam hati seorang hamba, maka keimanan itu akan mendorongnya untuk melakukan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, prilaku sebagian orang yang berpaling dari agama Allâh, tidak mengamalkannya, dan selalu berbuat maksiat, sebagai bukti kosongnya hati dari keimanan.
  2. Harus menggabungkan antara nash-nash wa’ad (janji) dengan nash-nash wa’id (ancaman). Barangsiapa memegangi nash-nash wa’ad (janji) atau nash-nash raja’ (harapan), dan meninggalkan nash-nash wa’îd (ancaman), maka dia tersesat, sebagaimana dilakukan oleh golongan Murji’ah. Demikian pula barangsiapa memegangi nash-nash wa’îd (ancaman) dan meninggalkan nash-nash raja’ (harapan), dia juga tersesat.

Maka kita katakan kepada pelaku maksiat yang berpegang dengan nash-nash wa’ad (janji), anda harus menggabungkan antara nash-nash raja’ (harapan) dengan nash-nash wa’îd (ancaman). Anda harus menggabungkan –misalnya- antara hadits yang anda jadikan argument, dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا

Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. [An-Nisa’/4: 93]

Juga dengan hadits:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Orang yang melakukan namimah (adu domba) tidak akan masuk sorga. [HR. Al-Bukhâri, 6056; Muslim, no. 105]

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar, tidak menyebabkan dia keluar dari Islam. Dia masih berstatus seorang Muslim yang keimanannya kurang. Selama dia tidak melakukan perkara-perkara yang menjadikan dia kafir, maka dia adalah seorang yang beriman dengan sebab keimanannya, namun fasiq dengan sebab dosa besarnya. Sedangkan di akhirat dia berada di bawah kehendak Allâh, jika Allâh Azza wa Jalla menghendaki, Dia akan memaafkannya, dan jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya sampai bersih dari dosa-dosanya, kemudian memasukkannya ke dalam surga, dan tidak akan kekal di neraka kecuali orang yang kafir kepada Allâh Azza wa Jalla atau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla .

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, iman adalah mengucapkan dengan lidah, meyakini dengan hati, dan mengamalkan dengan anggota badan. Iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab kemaksiatan.

3. Dalam Bab :  Sahabat Nabi
Dalam bab ini Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga berada di pertengahan antara golongan Syiah dengan golongan Khawarij.

Golongan Syiah, di antara mereka adalah Rafidhah yang bersikap melewati batas berkaitan dengan hak ahli bait Nabi, seperti kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu anhum. Mereka mengatakan bahwa Ali adalah orang yang ma’shûm, orang yang mengetahui perkara ghaib, lebih mulia daripada Abu Bakar z dan Umar Radhiyallahu anhu. Di antara orang-orang ekstrim mereka, ada yang menyatakan bahwa Ali adalah Tuhan!

Berseberangan dengan itu, Khawarij yang meremehkan hak Ali Radhiyallahu anhu, sehingga mereka berani mengkafirkannya, mengkafirkan Mu’âwiyah bin Abi Sufyân, bahkan mengkafirkan semua orang yang tidak berada di jalan mereka.

Sebagaimana juga golongan Rafidhah yang meremehkan hak mayoritas Sahabat Nabi, sehingga mereka berani mencela para Sahabat. Mereka beranggapan bahwa para Sahabat telah kafir, telah murtad sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu menurut sebagian Syi’ah.

Mereka mengkafirkan semua para Sahabat kecuali ahli bait Nabi dan beberapa orang Sahabat saja, yang mereka anggap sebagai pembela ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Mereka dengan terang-terangan mencaci para istri Nabi dan orang-orang mulia dari kalangan Sahabat Nabi, seperti Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu. Namun terkadang mereka menyatakan doa radhiyallâhu ‘anhum (semoga Allah Azza wa Jalla meridhai mereka-red) dan menampakkan sikap pembelaan kepada Sahabat Nabi sebagai bentuk upaya untuk mendekatkan diri dan tipu daya kepada Ahlus Sunnah. Karena di antara akidah mereka adalah akidah taqiyyah. Mereka menampakkan kepada Ahlus Sunnah sesuatu yang berbeda dengan isi hati mereka[1].

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka mencintai semua Sahabat Nabi, mendoakan kebaikan buat mereka, meyakini bahwa para Sahabat adalah manusia terbaik di kalangan umat ini setelah Nabinya dan meyakini bahwa Allâh telah memilih para Sahabat untuk menemani Nabi-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membicarakan perselisihan para Sahabat. Mereka berpendapat bahwa para Sahabat adalah para mujtahidin yang berhak mendapatkan pahala, jika benar mendapatkan dua pahala, jika keliru ia mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa orang yang paling mulia dari kalangan sahabat adalah Abu Bakar Radhiyallahu anhu, lalu Umar Radhiyallahu anhu, lalu Utsman Radhiyallahu anhu, lalu Ali Radhiyallahu anhum. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai ahli bait Nabi.

Ahli bait Nabi (keluarga Nabi) adalah orang-orang yang haram menerima zakat, yaitu keturunan Hâsyim dan keturunan Muthallib, demikian juga para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istri-istri nabi termasuk Ahli bait berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ  ٣٢ وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ

Hai isteri-isteri Nabi! Kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya an ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzâb/33: 32-33]

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, “Ayat ini menetapkan bahwa istri-istri Nabi termasuk Ahli bait Nabi. Karena ayat ini turun tentang mereka dan berbicara kepada mereka. Ini ditunjukkan oleh rangkaian pembicaraan”.

Perkataan serupa juga dikatakan oleh imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Ibnul Qayyim dalam Jalâ’ul Afhâm, hlm. 114, dan Asy-Syaukani di dalam tafsirnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa ahli bait Nabi memiliki dua hak: hak Islam, dan hak sebagai kerabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai mereka dan mendoaka kebaikan untuk mereka. Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa meridhai mereka.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tas-hîl al-‘Aqidah al-Islâmiyyah, hlm. 25-26, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammaadah al-Jibrin)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat penjelasan Syaikhul Islam di dalam Majmû’ Fatâwâ, 28/477-479


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/52601-sikap-tengah-ahlus-sunnah-diantara-firqah-firqah-sesat.html